Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda.
Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir
pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.
Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur
dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah
kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab
Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting
bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib
At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah,
Bulughul Maram, dan lain-lain.
Di antara ulama dewasa ini (yang tergelincir dalam kesalahan) adalah
Syaikh Al’Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani ; Beliau
adalah seorang pakar hadits. Tak ada seorang pun yang menandingi beliau
dalam hal perhatiannya terhadap ilmu hadits. Beliau terjatuh dalam
kesalahan dalam beberapa perkara menurut kebanyakan ulama. Di antara
kesalahan beliau adalah pendapatnya dalam masalah hijab. Beliau
berpendapat bahwa menutup wajah bagi wanita bukanlah sauatu kewajiban,
tetapi sunnah saja. Dalam perkara ini, kalau pun yang beliau katakan
benar, akan tetapi kebenaran tersebut dikatagorikan sebagai kebenaran
yang selayaknya disembunyikan [2], karena akibatnya akan banyaka wanita
yang meremehkan masalah menutup wajah. Begitu pula perkataan beliau
dalam kitab Shifat Shalat Nabi, “Sesungguhnya meletakkan kedua tangan di
atas dada pada saat I’tidal (berdiri setelah bangkit dari ruku’)
adalah termasuk bid’ah yang sesat”, padahal masalah tersebut termasuk
permasalahan yang diperselisihkan. Begitu pula perkataan yang beliau
sebutkan dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah hadits no. 2355 bahwa tidak
memotong jenggot yang melebihi satu genggaman adalah termasuk bid’ah
idhafiyah. Begitu pula pendapat beliau yang mengharamkan emas melingkar
bagi seorang wanita [3].
Akan tetapi, meskipun saya mengingkari beberapa pendapat beliau di atas,
saya begitu juga yang lainnya, tetap mengambil buku-buku beliau
sebagai rujukan. Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang
bisa diambil atau ditolak ucapannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau
mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bagaimana para ulama memberikan
maaf (toleransi) kepada ulama lain yang terjatuh dalam kesalahan.
Pemberian ma’af tersebut mereka berikan karena banyak kebenaran yang
dimiliki ulama tersebut.
Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang
mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari
kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari
kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya.
Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun
akan tertutupi oleh kesalahannya itu”
Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas
dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya
maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih
banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [4]
Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,”Apabila kebaikan seorang
lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu
disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol
daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [5]
Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Tidak ada seorangpun yang melewati
jembatan (keluar) dari Khirasan seperti Ishak bin Ruhawaih [6], meskipun
beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan
senantiasa saling berbeda pendapat” [7]
Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, “Abdul Malik –yaitu anak
dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan
termasuk seorang penghafal hadits. Akan tetapi, orang-orang yang
menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah. Termasuk
tindakan yang tidak adil meninggalkan seluruh hadits dari seorang
syaikh yang kokoh hafalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya
dikarenakan beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita
menempuh cara seperti ini, maka konsekwensinya adalah kita akan
meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij,
Ats Tsauri, dan Syu’bah. Hal ini karena meskipun mereka adalah para
penghafal hadits yang kokoh hafalannya, yang meriwayatkan hadits dari
hafalan mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang yang ma’shum (terjaga
dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan.
Jadi, tindakan yang tepat adalah bahwa seorang yang kuat hafalannya
(selagi periwayatannya benar) kita terima riwayatnya dan kalau
periwayatannya salah kita tinggalkan. Ini apabila secara keseluruhan
kesalahan mereka tidak mendominasi. Apabila kesalahan mereka lebih
mendominasi, maka dalam keadaan seperti itu periwayatan mereka kita
tinggalkan” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, “perlu diketahui
bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figur-figur tertentu
dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli
kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang
menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga
yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar
tidaknya).
Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang
lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan
kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka
melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam
bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang
batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang
lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan.
Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri
mereka kepada Ahlussunnah wal Jama’ah.
Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak
membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah
tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka
tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan
tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan
seperti ini.
Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang
semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad
mereka yang ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Akan
tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau
loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara
memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah
jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan
menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam
perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini
adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [9]
Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli
ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan
atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka
tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu
dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan
shahih sebuah hadits padahal dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang
salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga
dikarenakan mereka ijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil
yang menjelaskannya, namun dall-dalil tersebut belum sampai kepada
mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan
ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam
firman Allah Ta’ala.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah” [Al-Baqarah : 286]
Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, telah Aku lakukan”.
Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar,
apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah
pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal
kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka
kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh
meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak
boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia
bertaubat dari perkara itu. [10]
Beliau menambahkan, “Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin)
salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaafkan kita
bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat,
apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari
keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada
makhlukNya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung
kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [11]
Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad
kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia
memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka
amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah
merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya” [12]
Beliau menambahkan, “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami
mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah
dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami
membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya
dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi
parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki” [13]
Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan, kedudukan,
hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan
mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan
semata-mata karena Allah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita
menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa
mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya,
kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan
ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh
perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela
mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang
adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak
boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh
menganggapnya sebagai orang yang maksum (terbebas dari kesalahan)”
Dia menambahkan, “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan
kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa
seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang
baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah
umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa
ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan
tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia
tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum
muslimin” [14]
Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan
memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil
adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena
banyak kebenaran yang ada padanya” [15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar