SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP KESALAHAN ULAMA
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Sepeninggal Rasulullah tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari
kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari
kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah
kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh
kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan
melakukan tahdzir [1] terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang
sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki.
Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka
hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti
pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada
Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang
pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar
penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut
dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali
kepada kebenaran.
Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalahan dalam maslah akidah
adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun
demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya.
Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang
bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar
(XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang
penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum
dan tuan guru umat Islam”.
Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan
mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi
ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat
karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh
jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.
Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya
tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah
dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul
Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau
hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada
serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu
hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits,
serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling
bertentangan”.
Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar
nilainya, sangat luas fedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai
karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan
karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.
Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab
Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah
seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru
umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang
bermanfaat”.
Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam
memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’ dan sangat
berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu
membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal
hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits ; ilmu tentang
periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang
dha’if ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga
seorang tokoh terkemuka yang mengetahui madzhab (Syafi’i)”.
Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah (XVII/540),
“Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak
karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah
selesai dan utuh, namun ada pula yan belum. Karya-karya beliau yang
sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Muslim, Ar-Raudah,
Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa
Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang
lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di
antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’.
Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang
tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau
menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab
tersebut masalah fikih yang ada dalam madzhabnya maupun yang di luar
madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ;
diterangkan di situ kata-kata yang sulit (asing), tinjauan-tinjauan
bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam
kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih
sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak
penambahan dan penyempurnaan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar