Senin, 23 Januari 2012

Dilema Cinta Dalam Logika Asmara (Bag. 02)

4. Membenahi diri dalam hal kualitas keshalihan
Pada dasarnya pembenahan diri mutlak dilakukan kapan saja dan di mana saja. Akan tetapi, pada konteks bahasan kali ini, pembenahan diri yang dimaksud adalah pembenahan diri sebelum menginjak pernikahan. Suatu contoh wujud pembenahan diri, -dalam rangka usaha mendapatkan pasangan idaman sesuai impian, jika mungkin yang shalih/shalihah lagi rupawan dan “hartawan”- adalah mengupayakan peningkatan kualitas keimanan dan keshalihan diri kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (Qs. An–Nur: 26)
Sebab ayat ini turun berkenaan dengan bantahan dari sisi Allah mengenai tuduhan dusta atas perbuatan zina yang dilakukan oleh ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulamiradhiyallahu ‘anhuma, yang terkenal dengan peristiwa “Al-Ifk”.
Allah berkehendak untuk menyucikan dan membersihkan tuduhan tersebut dari ‘Aisyah dan Shafwan ibn Mu’aththal As-Sulami radhiyallahu ‘anhuma, bahwa mereka berdua tidaklah berzina sebagaimana yang dituduhkan. Oleh karena itu, mayoritas ahli tafsir menafsirkan kata Al-Khabits dan Ath-Thayyib lebih mencakup pada baik dan buruknya perkataan. Akan tetapi, di dalam Kitab Zadul Masir, ditafsirkan bahwa yang dimaksud Al-Khabits dan Ath-Thayyib bukan hanya mencakup orang yang memiliki kebaikan atau keburukan dalam perkataan saja, tapi juga mencakup sisi amal perbuatan.
والرابع: الخبيثات من الأعمال للخبيثين من الناس، والخبيثون من الناس للخبيثات من الأعمال…. وكذلك الطيبات…..
“….Keempat: wanita-wanita yang berbuat keji diperuntukkan bagi para lelaki yang berbuat keji, dan laki-laki yang melakukan perbuatan keji pun diperuntukkan bagi wanita-wanita yang berbuat keji pula. Begitu juga dengan wanita-wanita yang beramal baik(maka wanita-wanita yang beramal baik ini diperuntukkan bagi para lelaki yang beramal baik dan sebaliknya -pen )…” (Zadul Masir)
Kadangkala timbul persepsi sebagian orang mengenai kelaziman (konsekuensi) mutlak Qs. An–Nur: 26, bahwa jikalau kita beranggapan bahwa diri kita belum begitu baik, maka jodoh kita tidak akan begitu jauh kualitas agamanya dengan diri kita, minimal setingkat dan semisal dengan kita dalam level kualitas agama.
Di satu sisi kita sadar diri bahwa kita masih sangat kurang tingkat keshalihannya, namun di sisi lain kita juga menginginkan pasangan yang kadar takwa, keshalihan, dan ilmunya dianggap jauh lebih tinggi dari kita. Berpatokan dengan kondisi tersebut, kita merasa tidak mungkin dan seolah-olah mustahil untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas seperti mereka…ibarat si cebol yang merindukan bulan. Apakah mutlak selalu demikian keadaannya? Kalau memang benar kita bisa mendapatkan pasangan yang dianggap bermutu tinggi, seringkali justru kita yang merasa tidak sepadan dan kurang pantas bersanding dengan orang seperti itu, karena terjadi ketimpangan dalam kadar keshalihan.
1. Andaikata perkaranya berhenti pada pilihan kata “mungkin” atau “tidak mungkin” Al-Khabitsah mendapatkan Ath-Thayyib dan sebaliknya, maka jawabnya adalah mungkin. Ayat tersebut hanya menekankan perkara hukum yang bersifat mendasar, yakni bersifataghlabiyyah (sebagian besar/mayoritas) dan aulawiyyah (lebih-lebih). Akan tetapi, dalam ayat tersebut tidak terkandung makna yang mutlak bahwa seseorang yang shalih pasti akan mendapat pasangan yang sekufu (sederajat) juga dalam tingkat keshalihannya. Bisa saja terjadi pengecualian dari kaidah dasar tersebut jika memang Allah menghendaki dengan segala keadilan, kehendak, kuasa dan hikmah yang Allah miliki. (Silahkan temukan contoh nyatanya yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bahwa bisa saja Al-Khabits mendapatkan Ath-Thayyibah dan Ath-Thayyib mendapatkan Al-Khabitsah pada point ke-7)
2. Subhanallah, begitu mengherankan tatkala mendapati orang yang perasaannya “menolak” dengan halus datangnya kebaikan bagi dirinya lewat perantara keshalihan pasangan. Manusia memang diberi perasaan tingkat tinggi untuk melengkapi kinerja akal, sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, bukan hal yang baik dan bijak jika tiap kejadian hanya dipahami dan dihukumi melalui perspektif perasaan saja.
Duhai jiwa, sesungguhnya Allah memberi petunjuk pada siapapun yang Dia kehendaki, dan lewat jalan yang Dia kehendaki pula. Alih-alih larut dalam perasaan minder “tidak level“, bukankah sebaiknya langkah pertama yang kita ambil adalah bersyukur dan berbahagia? Tidak semua orang bisa mendapat anugrah seperti itu, kita justru yang sudah meraihnya malah menyia-nyiakannya.
Langkah kedua, buka pikiran positif dan cerna baik-baik hikmah yang terkandung dalam peristiwa itu, karena mungkin Allah berkehendak membuat diri kita yang sekarang jauh lebih baik dari kita yang dahulu melalui perantara pasangan kita. Maka bergegaslah untuk menyongsong anugrah tersebut dan segeralah menyamakan level! Bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan manusia karena malu tidak selevel, namun karena mengharap bertemu wajahNya di surga (baca: merubah diri yang didasari ikhlas karena Allah semata, bukan karena mendahulukan ridha manusia).
5. Melengkapi bekal yang lain sebelum menikah
Ketika kita mendengar kalimat “perbanyaklah bekal sebelum menikah”, mungkin yang akan terbayang di benak kita adalah bekal berupa pundi-pundi harta. Ini bukanlah bekal tambahan hakiki untuk menghadapi pernikahan, meskipun tidak bisa dielakkan bahwa materi itu juga penting sebagai salah satu bekal dasar menuju pernikahan. Manakala ilmu tentang kehidupan rumah tangga sudah dipelajari sebagai bekal, maka bekal lain yang sangat penting dimiliki oleh calon pasangan pengantin adalah bekal ketakwaan. Bekal ketakwaan ini bukan saja khusus ditujukan bagi yang sedang mempersiapkan mahligai rumah tangga, namun memang harus dimiliki oleh setiap muslim dan muslimah siapapun dia, kapanpun jua, dan di manapun ia berada.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (71)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab: 70-71)
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
“…Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (Qs. Al-Baqarah: 197)
Telah disinggung di ulasan sebelumnya, bahwa bangunan pernikahan bertipe “SAMARA” (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah) memerlukan dinding kokoh dari ketakwaan yang dapat membentengi hati dari serbuan hawa nafsu. Dengan adanya ketakwaan inilah, masing-masing pasangan akan berusaha mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya tentang hak, kewajiban, dan bagaimana adab berinteraksi dengan pasangan. Ketakwaan ini pulalah yang sanggup mengendalikan diri dari hawa nafsu yang buruk, yang bisa menghancurkan diri, rumah tangga, bahkan agama.
6. Memperbanyak doa
Tidak ada seorang muslim yang berakal dan baligh di dunia ini yang tidak pernah memanjatkan doa. Ini suatu bukti bahwa kita senantiasa membutuhkanNya. Doa juga merupakan wujud penghambaan dan perendahan diri kita terhadap Yang Maha Kuasa. Siapakah orangnya yang akan meragukan dahsyatnya kekuatan yang terkandung dalam doa? Untuk itulah kita harus senantiasa menundukkan diri kita dengan terus menerus memohon dan berdoa tanpa putus asa, dengan memenuhi segala adab berdoa[2], agar:
• Mendapat pasangan shalih/shalihah untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Terhindar dari perasaan sedih, rasa gundah, khawatir akan masa depan. [silahkan baca lebih lengkap di artikel Untukmu…Yang Dirundung Rindu dan Sendu (Bag.1)]
• Doa agar dikaruniai pasangan yang TERBAIK bagi diri kita, bukan hanya terbaik menurut kita, karena hanya Allah semata yang paling tahu segala sesuatu yang paling baik bagi hambaNya.
Doa agar mendapat kemudahan dalam segala urusan, khususnya urusan jodoh
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اَللَّهُمَّ لا سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَ أَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Dan apabila Engkau berkehendak, Engkau akan menjadikan kesusahan menjadi kemudahan.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2427, Ibnu Sunni dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 351, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashfahan: 2/305, Imam Al-Ashbahani dalam At-Targhib: 1/131. Syaikh Al-Albani menilai shahih dalam Silsilah Shahihah dan mengatakan, “Isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.”)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Qs. Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (Qs. Al-Baqarah: 186)
Di dalam kedua ayat di atas disebutkan bahwa Allah telah berjanji dan menjamin akan mengabulkan doa hambaNya. JanjiNya bersifat mutlak, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji yang telah dibuatNya. Akan tetapi, janganlah kita lupa bahwa pengabulan itu memiliki syarat. Pengabulan doa itu pun tentu menurut pilihanNya yang terbaik, bukan menurut pilihan selera kita, pun pada waktu yang dikehendakiNya, bukan menurut waktu yang kita kehendaki. Bukankah dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan kata-kata, “menurut tuntutanmu, atau menurut waktu yang engkau kehendaki, atau menurut kehendakmu itu sendiri?” Bisa jadi (dengan doa tersebut-red) Allah segera mengabulkannya, atau bisa pula Allah menundanya bahkan hingga di akhirat, atau Allah menghindarkan dia dari musibah yang akan menimpanya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ، قَالَ: «اللَّهُ أَكْثَرُ»
Dari Abu Sa’id (Al-Khudri pen) radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal. Lalu mereka berkata, “kalau begitu kita seyogyanya banyak berdoa (meminta).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah akan memberi lebih banyak (dari yang diminta hambaNya pen)” (HR. Ahmad no.11133) [3]
Ketika Allah ternyata menunda terkabulnya doa, atau bahkan Allah menetapkan sesuatu yang berbeda dari tuntutan doa kita, itu bukan berarti Allah melanggar janjiNya untuk mengabulkan doa. Kita pun tidak perlu kecewa hanya karena Allah menunda atau malah mengganti permintaan yang ada dalam untaian doa kita dengan ketetapanNya yang lain, karena Allah lah yang tahu hal terbaik untuk kita, beserta mashlahat dan madharatnya jika doa yang kita panjatkan itu terkabul.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 216)
Banyak sebab mengapa doa itu belum jua dikabulkan. Salah satunya karena belum menempuh segala adab yang benar dalam berdoa, kita masih lalai dalam melaksanakan perintahNya dan masih bermudah-mudahan dalam berbuat dosa, kita masih memakan harta dari jalan yang haram, kita belum betul-betul “menghinakan diri” dalam memanjatkan doa, atau kita malah berputus asa dalam berdoa. Berbicara tentang keputusasaan dalam berdoa, perkara ini banyak terjadi di sebagian kaum muslimin bahkan dari kalangan penuntut ilmu sekalipun. Mereka terlalu tergesa-gesa dalam berdoa. Sesekali waktu doa belum terkabulkan, mereka “ngambek” dan putus asa untuk berdoa lagi…lagi…dan lagi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ، يَقُولُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru, yaitu dengan berkata, “Aku sudah memanjatkan doa namun belum juga dikabulkan bagiku.””(HR. Bukhari no.6340)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا الاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقُولُ : قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ، فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang hamba senantiasa dikabulkan selagi dia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan hubungan persaudaraan, asalkan dia tidak tergesa-gesa.” Ada yang bertanya,” Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa?” Beliau menjawab, “Dia berkata, “Aku sudah memanjatkan doa dan aku sudah memanjatkan doa lagi, namun belum kulihat doaku dikabulkan. “ Lalu dia merasa letih saat itu dan meninggalkan doa.” (HR.Muslim no.7036)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar