Saat bahtera cinta pasutri berlabuh di dermaga rumah tangga, berjuta impian hadir membayangi sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Gambaran indahnya menari-nari di pelupuk mata, tuk rajut hari esok yang penuh warna. Sebuah euforia menyeruak dari rongga dada, tatkala cinta di hati mulai tumbuh berbunga. Akankah asa itu seindah nyata?
***
***
Pernikahan bukan hanya tindakan penyaluran cinta atau kebutuhan biologis tanpa upaya menuai pahala. Akan tetapi, setiap insan tentu mengidamkan suatu pernikahan yang dipenuhi rasa bahagia, penuh nuansa cinta dalam hidup berumah tangga, selain sebagai suatu cara yang bisa menghantarkan pelakunya ke surga (baca: bernilai ibadah). Sungguh lebih nikmat terasa, bersanding dengan tambatan hati yang didamba. Maka tak heran jika terkadang seabrek kriteria pun diajukan, demi mendapat pasangan impian.
Persoalan level standar subyektif yang ditetapkan calon pasangan sangatlah beragam. Tiap individu tentu ingin mendapatkan yang terbaik sebagai pasangan hidupnya, dalam rangka mendambakan bahagia dalam bahtera rumah tangga. Oleh karena itulah, timbul beragam patokan standar pemilihan calon pasangan. Pada dasarnya patokan kriteria itu boleh-boleh saja, selama kriteria tersebut hanya dijadikan patokan sementara yang bersifat opsional dan fleksibel.
Artinya: Jikalau memang ternyata tidak ditemukan yang sama persis dengan kriteria idealnya, maka dia tidak memadharatkan dirinya sendiri dengan menunda pernikahan, demi mendapatkan yang sama persis dengan dambaan hatinya. Padahal, kondisinya sendiri sudah berada dalam “ambang batas” wajib untuk menikah. Sungguh merugi jika dengan standar yang terlalu tinggi, malah menjadi “batu sandungan” bagi diri sendiri maupun orang lain untuk menuju jenjang pernikahan.
Seseorang seringkali menetapkan kriteria tambahan bagi calon pasangan, seperti : harta, garis keturunan, kepribadian, kebiasaan, bahkan yang paling umum menyangkut fisik dan “keelokan” rupa -maaf, mungkin agak sensitif terlebih bagi wanita-. Akan tetapi, terlalu ironis apabila kriteria tersebut -yang sejatinya bisa ditawar- malah justru membantai kriteria asasi (baca: kriteria yang menyangkut agama) yang telah ditetapkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulis memohon maaf untuk tidak banyak menyinggung berbagai macam kriteria pernikahan, karena bukan dalam kesempatan ini dibahas tentang hal tersebut dalam timbangan syari’at.
Kriteria opsional memang penting, tapi yang asasi itu tentu jauh lebih penting. Suatu hal yang dianggap manusiawi ketika seseorang menginginkan kriteria asasi maupun opsional terkumpul menjadi satu. Akan tetapi, hendaknya dia lebih bersikap logis dan realistis, daripada menjadi sosok yang terlalu idealis lagi perfeksionis. Mulailah bersikap realistis…teramat susah mencari pendamping yang nyaris sempurna.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu! Karena bisa jadi si pujaan hatibukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Kalaupun sudah ditemukan, jangan terlalu girang dahulu! Karena bisa jadi si pujaan hatibukan mendamba orang seperti Anda menjadi pendamping hidupnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya bagi diri Anda adalah, “Apakah dia sudi bersanding dengan saya? Apakah dia memang benar-benar yang terbaik untuk saya?” Karena belum tentu yang terbaik menurut Anda, merupakan yang terbaik menurut Allah ‘Azza wa Jalla. Bisa jadi justru yang “pas-pasan” itulah yang terbaik bagi Anda.
Andaikata lisan membenarkan pernyataan “saat ini, tidak ada manusia yang sempurna dan terbebas dari cela”, selayaknya hal tersebut terpatri dalam pikiran dan diaplikasikan dalam bentuk perbuatan, yakni bersikap lapang dada dan toleran terhadap kekurangan calon pasangan maupun pasangan yang telah didapatkan. Sekali lagi penulis tandaskan: menetapkan kriteria sampingan tidaklah salah, bahkan itu selaras dengan sisi manusiawi, dan bisa juga turut membantu melanggengkan ikatan cinta pasutri. Akan tetapi, yang hendak dikritisi di sini, jangan sampai itu justru menjadi kendala dalam fase menuju pernikahan (belum mau menikah hanya karena keras kepala dalam menetapkan kriteria opsionalnya).
تريد مهذبا لا عيب فيه … وهل عود يفوح بلا دخان؟
“Apabila engkau mendamba seorang yang berbudi tanpa cela,
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi)
mungkinkah kiranya gaharu menebarkan wanginya tanpa asap?”
(Majma’ Al-Hikam wal Amtsal fi Asy-Syi’r Al-’Arabi)
Pepatah ini mengibaratkan mustahilnya keinginan seseorang untuk mendapatkan orang yang sempurna tanpa cela, baik untuk dijadikan kawan dekat maupun kawan hidup, karena gaharu justru baru akan menebarkan aroma wanginya yang begitu kuat jika dibakar terlebih dahulu kemudian berasap. Justru asap gaharu itulah yang nantinya akan mengeluarkan semerbak harumnya yang khas.
Dikisahkan bahwa Khalifah Umar ibn ‘Abdil Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada putranya. Salah satu perkataan Beliau dalam surat tersebut adalah,
رَحِمَ اللهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
“…Semoga Allah merahmati orang yang tahu kemampuan dirinya sendiri…” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Perkataan di atas sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan atau bahkan mematikan semangat dan harapan orang yang belum menikah untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas lebih dari dirinya. Akan tetapi, perkataan di atas lebih ditujukan sebagai pengingat bagi para idealis dan perfeksionis yang seringkali “neko-neko” untuk lebih sadar diri tentang kemampuan yang dimilikinya, dalam menetapkan kriteria sampingan yang pada dasarnya masih bisa ditawar. Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar,
“Apabila Anda tidak memiliki kualitas sebaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan terlalu berangan tinggi bahwa Anda akan mendapat istri seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bilamana Anda bukan seperti ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka jangan terlalu bermimpi mendapatkan wanita sebagaimana Fathimah radhiyallahu ‘anha.”
Ungkapan permisalan ini memang tidak bisa dibawa secara paten, karena bisa saja seorang yang berkualitas, namun mendapat pasangan yang kurang sederajat dari segi kualitasnya. Akan tetapi, sekali lagi ungkapan tersebut hanyalah sebagai pendorong bagi seseorang untuk kembali pada alam realita. Ungkapan ini juga berguna sebagai kontrol agar seseorang hendaknya berusaha menyadari kemampuan yang dia miliki, sehingga dia tidak lagi hanyut dalam alam mimpinya untuk mendapatkan pasangan yang serba “wow”.
Maka patut Anda pertanyakan dalam diri Anda, “Apakah Anda memiliki kualitas bak lelaki penghuni surga yang tanpa cela, hingga Anda mengidamkan pasangan semisal bidadari yang sempurna tiada bandingnya?”
Fenomena di atas hanya secuil gambaran onak yang bertaburan di jalan pra nikah. Ada lagi kisah calon pengantin yang didera perasaan minder dan sebagainya hingga berkecamuklah gejolak di hatinya,
- “Saya belum bekerja”… “Saya hanya seorang…”…”Gaji saya cuma pas – pasan”…”Dia dari keluarga berada sedangkan saya dari keluarga biasa saja.”
- “Saya belum bisa mengaji…ilmu saya masih sedikit…belum bisa ini…belum bisa itu…”
- “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
- “Saya biasa saja, sedangkan calon saya itu terlalu cantik/tampan…saya merasa tidak sebanding dengan dia.” dan lain sebagainya.
Hati ini merasa miris melihat realita yang terbentang di hadapan mata, manakala banyak orang yang terjangkit sindrom “pilu sendu mengharu biru” pra nikah, karena faktor internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, kami ingin menyampaikan beberapa ulasan yang mungkin berguna bagi penderita sindrom tersebut.
1. Mengikhlaskan niat
Niat merupakan titik awal dilakukannya suatu perbuatan. Lurus atau tidaknya niat pada stase awal pernikahan sangat berpengaruh pada kokoh atau tidaknya bangunan rumah tangga. Bangunan pernikahan tipe “SAMARA” perlu pondasi niat lurus yang kokoh, pilar-pilar keikhlasan agar selalu tegar dan tegak berdiri, tembok dari ketakwaan yang dapat membentenginya dari serbuan hawa nafsu, dan puncak atap yang tersusun dari keinginan bertemu wajahNya di surga Al-Firdaus Al-A’la.
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
Dengan memahami hakikat inti pernikahan, tiap individu hendaknya mencoba bertanya pada diri sendiri, kemudian menjawab dengan hati nurani :
a. Apa sebenarnya tujuan pokok saya menikah? Apa hanya semata – mata memuaskan hasrat kodrati yang manusiawi? atau melaksanakan sunnah? atau dalam rangka menjaga kemaluan dan pandangan…atau dibumbui beragam tendensi duniawi lainnya?
Tentunya akan didapat berbagai macam versi jawaban sesuai dengan individu itu sendiri, namun jawaban yang paling hakiki akan bermuara pada satu kalimat pungkasan“menggapai ridha ilahi sebagai salah satu usaha menuju kenikmatan surgawi nan abadi, melalui ikatan pernikahan yang suci”. Pada jawaban ini terkandung manifestasi dari tujuan diciptakannya manusia di muka bumi, yakni untuk beribadah kepadaNya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan segala amalan yang kita kerjakan tentulah akan berpulang pada tujuan awal ini.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(Qs. Adz-Dzariat: 56)
b. Apakah langkah yang harus saya tempuh untuk meraih tujuan yang paling tinggi dari pernikahan itu sendiri? Apa harus benar – benar mendapat pasangan yang kaya terlebih dahulu, atau yang semata karena punya keelokan rupa, atau dari keluarga berada..atau..dan atau.. Andai seseorang berlomba-lomba menetapkan kriteria tinggi guna kepentingan ukhrawi tidaklah mengapa, namun jika berlomba-lomba kriteria duniawi yang tinggi…maka itulah sumber awal masalahnya.
Saudaraku, apa karena istri Anda kurang cantik, atau tidak sempurna dalam pandangan Anda…lantas Anda menelantarkan dan ingin meninggalkannya karena sukar mencintainya?
Saudariku…apakah karena suami Anda kurang kaya dan punya beragam cela…maka Anda sulit menghargainya? Lalu untuk apa sebenarnya cita-cita klimaks dan tujuan inti Anda menikah ya Akhi alhabib dan Ukhti alhabibah? Yakni untuk bertemu wajahNya di surga, karena kita berharap surga menjadi tempat hunian yang kekal setelah kematian kita.
2. Mempersiapkan diri dengan ilmu
Ketika sauh bahtera dua jiwa diangkat, bahtera pun mulai berlayar dari dermaga cinta mengarungi samudera rumah tangga menuju tempat akhir yang penuh bahagia. Dalam perjalanan jauh yang harus ditempuh bahtera, pasti seringkali dijumpai berbagai rintangan problematika yang datang silih berganti, sehingga diperlukan bekal ilmu yang cukup untuk menghadapi problematika ini. Ada banyak disiplin ilmu sebelum nikah yang harus dipelajari. Maka pelajarilah ilmu wajib yang memang harus dikuasai masing-masing individu (seperti tauhid dan fiqh amal sehari-hari) dan ilmu yang paling urgent dipelajari terlebih dahulu untuk masuk ke gerbang pernikahan. Adapun disiplin ilmu yang lain dapat dipelajari seiring waktu berjalan, Insya Allah.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
Artinya, tiap individu menetapkan skala prioritas tentang apa sajakah ilmu yang mendesak untuk dipelajari terlebih dahulu sehubungan dengan kondisinya yang akan menapaki tangga pelaminan. Contoh ilmu yang urgent dipelajari sebelum pernikahan: belajar tentang bagaimanakah tata cara pernikahan yang syar’i dan seluk beluk hukum pernikahan beserta adab malam pertama, mempelajari hak dan kewajiban suami istri beserta pernak – perniknya, dsb. Baik juga kiranya untuk berdiskusi dan menimba ilmu rumah tangga dari berbagai pihak yang sudah makan banyak asam garam dalam mengayuh biduk rumah tangga.
3. Mempersiapkan mental
Hidup ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah adage (peribahasa) lama yang berbunyi:
“Hidup bukanlah sebagaimana ranjang yang bertabur bunga mawar.” [1]
Begitu juga dengan pernikahan yang dijalani pasutri. Artinya, pernikahan tidak hanya bertabur dengan keindahan dan romantika cinta saja. Akan jauh lebih baik jika tiap diri tidak berlarut-larut dalam lamunan semu romantisme pernikahan belaka. Wajar jika akan ada saat suka dan bahagia datang menyapa, dan akan tiba pula saat duka nestapa melanda.
Jikalau goncangan demi goncangan hanya dihadapi dengan keluhan, sikap lemah, dan jiwa yang rapuh…bukan solusi yang akan didapat, namun malah petaka yang kian mendekat. Maka dari itu, sedari dini persiapkanlah diri untuk bersikap tegar, teguh, tabah dan berpikirlah “dewasa”yang dilandasi dengan ilmu agama ketika badai ujian menerpa bahtera rumah tangga, meskipun terkadang hantaman realita begitu membuat jiwa terasa menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar