Dari Usamah bin Zaid, Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain daripada godaan wanita.”
Perlu kita ketahui ukhty, fakta yang terjadi memang benar bahwa banyak sekali kerusakan yang telah timbul karena wanita yang tidak mengenali kemuliaan, kehormatan dan kesucian dirinya, sehingga menjadi wanita yang tidak bermartabat bahkan “murahan.”
Banyak kita temui para wanita yang menjajakan harga diri dan kesucian di jalan-jalan tanpa ada perasaan risih dan mereka menanggalkan rasa malunya, Mereka mengumbar nafsu para lelaki, padahal telah kita ketahui bahwa laki-laki itu sangat mudah tergoda (terfitnah) apalagi oleh perempuan yang berpakaian seksi, sehingga banyak timbul kejahatan karenanya, misalnya pemerkosaan, permusuhan, pembunuhan, bahkan sangat mungkin menyebabkan perbuatan syirik, seperti slogan yang ada “cinta ditolak, dukun bertindak.”
Fitnah lain yang mungkin ditimbulkan oleh wanita adalah fitnah harta dan kekuasaan. Wanita banyak yang tertipu dengan indahnya kehidupan dunia, suka bermewah-mewahan dan berfoya-foya. Lalu mereka mempengaruhi suami-suami mereka agar melakukan perbuatan haram untuk memenuhi nafsu dunianya, hingga banyak terjadi pencuriaan, perampokan, dan korupsi, karena laki-laki itu tidak ingin ditinggalkan wanita yang terlanjur dicintainya.
Wahai saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah, agar kita tidak menjadi wanita penebar fitnah. Jadilah wanita mulia yang dapat mencetak generasi sholih untuk kejayaan agama islam, dan untuk keselamatanmu di akhirat kelak. Dengan apakah kita melakukannya wahai saudariku? Yaitu dengan mempelajari diinul islam yang haq, sesuai Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pemahaman salafussholih, mengenai bagaimana beraqidah, bermanhaj, berakhlak, bermuamalah, berhijab/berpakaian syar’i, dan lain-lain dari seluruh aspek kehidupan kita.
Yang terakhir, perlu kita ketahui bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi muslim & muslimah. Jadi, berdosalah bagi seseorang yang diberi kemampuan namun tidak mau menuntut ilmu. Semoga Alloh Ta’ala memberikan taufik bagi kita. Aamiin.
***
Rabu, 17 Agustus 2011
Kebahagiaan Adalah Anugrah
Kebahagiaan tidak lain adalah limpahan karunia Ilahi, bukan merupakan sebuah hasil usaha semata. Seperti masuknya hamba-hamba yang sholeh kedalam syurga bukan dikarenakan amalan mereka semata yang -sebut saja tidak terhitung jumlahnya menurut ukuran manusia- melainkan karena rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sudut pandang ikhtiar atau usaha, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa manusia diberikan kebebasan memilih, jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tapi tetap seluruh usaha manusia -mau tidak mau- terikat dalam sebuah ketetapan pasti yaitu takdir Alloh.
Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak menebar usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam nuansa ikhtiar kita harus tetap berusaha, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Dan keduanya, bisa menjadi pemicu terwujudnya gelombang kebahagiaan.
Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dera musibah secara bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman hidupnya.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemicu kebahagiaan. Karena ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan bujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar sebagai pemenang, mendulang karunia petunjuk Allah.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)
Hati yang mendapatkan petunjuk, niscaya memancarkan cahaya pasrah, menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga lahirlah kebahagiaan itu.
Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyeruakkan nuansa kesegaran berpikir, karena dasar keyakinan bahwa Allah akan memberikan pahala, bagi orang-orang yang tabah dan sabar.
وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)
Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan kandungan ruh keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli, apakah usaha itu -pada akhirnya- menampakkan hasil, atau terjatuh pada lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim tak lepas dari bingkai ibadah, atau penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan, semakin meningkat kualitas kehambaannya.
Sebagai contohnya, ibadah sholat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan dibarengi dengan kesabaran jiwa…
يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)
Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan sebuah fenomena yang cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering muncul, karena selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal didapat oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah berbahagia, karena pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam jiwanya. Di saat berhasil, ia akan memperoleh kebahagiaan lebih, karena rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!
“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)
Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang muslim ketika usaii menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang ia ungkapkan, menjadikannya nilaii lebih. Meskipun secara umum, rasa syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan dii saat terjadi musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)
Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati dan penentraman jiwa. Dari situlah, sebuah karunia akan semakin terasa kenikmatannya.
Sebagaimana realitas kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.
“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan, yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)
Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata dan pasti, karena merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan lain. Yaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya, atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah sesaat, karena tidak memiliki ruh keikhlasan dan kekuatan.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.
Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…
Maroji’: Aku Wanita paling Bahagia (Abu Umar Basyier)
***
Dalam sudut pandang ikhtiar atau usaha, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa manusia diberikan kebebasan memilih, jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tapi tetap seluruh usaha manusia -mau tidak mau- terikat dalam sebuah ketetapan pasti yaitu takdir Alloh.
Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak menebar usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam nuansa ikhtiar kita harus tetap berusaha, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Dan keduanya, bisa menjadi pemicu terwujudnya gelombang kebahagiaan.
Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dera musibah secara bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman hidupnya.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemicu kebahagiaan. Karena ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan bujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar sebagai pemenang, mendulang karunia petunjuk Allah.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)
Hati yang mendapatkan petunjuk, niscaya memancarkan cahaya pasrah, menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga lahirlah kebahagiaan itu.
Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyeruakkan nuansa kesegaran berpikir, karena dasar keyakinan bahwa Allah akan memberikan pahala, bagi orang-orang yang tabah dan sabar.
وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)
Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan kandungan ruh keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli, apakah usaha itu -pada akhirnya- menampakkan hasil, atau terjatuh pada lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim tak lepas dari bingkai ibadah, atau penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan, semakin meningkat kualitas kehambaannya.
Sebagai contohnya, ibadah sholat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan dibarengi dengan kesabaran jiwa…
يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)
Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan sebuah fenomena yang cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering muncul, karena selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal didapat oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah berbahagia, karena pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam jiwanya. Di saat berhasil, ia akan memperoleh kebahagiaan lebih, karena rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!
“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)
Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang muslim ketika usaii menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang ia ungkapkan, menjadikannya nilaii lebih. Meskipun secara umum, rasa syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan dii saat terjadi musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)
Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati dan penentraman jiwa. Dari situlah, sebuah karunia akan semakin terasa kenikmatannya.
Sebagaimana realitas kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.
“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan, yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)
Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata dan pasti, karena merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan lain. Yaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya, atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah sesaat, karena tidak memiliki ruh keikhlasan dan kekuatan.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.
Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…
Maroji’: Aku Wanita paling Bahagia (Abu Umar Basyier)
***
Hukum Seputar Wanita di Bulan Ramadhan
Bulan yang ditunggu-tunggu sebentar lagi akan datang. Semangat berpuasa akan semakin terbimbing saat kita mengetahui amalan yang kita lakukan tersebut memiliki dalil penuntun sebagai salah satu syarat diterimanya puasa tersebut oleh Allah. Sehingga, puasa akan menjadi bernilai ibadah dan bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus saja.
Puasa Ramadhan merupakan amalan yang Allah Ta’ala wajibkan bagi kaum muslimin dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)
Lebih khusus lagi, puasa Ramadhan diwajibkan kepada muslim yang baligh, berakal, dan mukim (tidak sedang bersafar) sebagaimana sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Pena (pencatatan amal) diangkat dari tiga jenis manusia (yakni) orang yang gila hingga sadar kembali, orang yang tidur hingga bangun kembali, dan anak-anak hingga dia dewasa” (Shohih, riwayat Ahmad dan Nasa’i) dan dalam firman Allah Ta’ala,
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184)
Bagi seorang wanita yang akan berpuasa, ditambahkan syarat suci dari haid dan nifas, yang disimpulkan dari perkataan Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam saat beliau shallallaahu’alaihi wa sallam menjelaskan mengenai kurangnya agama seorang wanita: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa?” (Shohih, Riwayat Bukhori)
Seorang wanita memiliki alasan-alasan khusus yang membolehkannya untuk tidak berpuasa wajib, antara lain:
1. Haid
Seorang wanita yang haid dan nifas dilarang untuk melakukan puasa berdalil dengan hadits Abu Sa’id al Khudriy -radhiyallaahu’anhu-, bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” (Shohih, Riwayat Bukhori)
Di balik segala sesuatu pasti ada hikmahnya, meskipun kita tidak mampu membuka tabir hikmah tersebut. Lalu, apa hikmah dilarangnya seorang wanita yang mengalami haid untuk tidak berpuasa? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya: “Haid menyebabkan keluarnya darah. Wanita yang sudah mendapat haid dapat berpuasa di selain saat-saat merahnya yaitu dalam kondisi tidak keluar darah (tidak haid). Karena puasa pada waktu itu adalah puasa dalam kondisi fisik yang seimbang dimana darah, yang merupakan inti kekuatan tubuh, tidak keluar. Puasanya di saat haid akan menguras darah sehingga berdampak pada menurun dan melemahnya tubuhnya dan puasanya pun tidak pada kondisi fisik yang seimbang. Oleh karena itu, wanita diperintahkan untuk berpuasa di luar waktu-waktu haidnya.”
Wanita haid tersebut wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan, berdasarkan hadits dari ‘Aisyah -radhiyallaahu’anha- : “Kami mengalami haid di masa Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ sholat.” (Shohih, dalam Shohih Jami’ no. 3514)
Qadha’ boleh ditunda karena adanya udzur (alasan). Akan tetapi, hendaknya tidak menunda qadha’ tanpa udzur hingga masuk bulan Sya’ban atau justru beberapa hari sebelum Ramadhan tiba karena hal tersebut justru akan memberatkan fisik kita dalam persiapan bulan Ramadhan. Apalagi lingkungan kita yang umumnya penuh godaan, seperti banyaknya warung makan yang buka.
Sebagaimana keadaan orang yang junub, seorang wanita yang suci dari haid sebelum fajar namun baru mandi setelah terbit fajar maka sah puasanya. Sah juga jika wanita tersebut mendapatkan haid setelah tenggelamnya matahari meskipun ia belum sempat untuk berbuka puasa.
Jika seorang wanita suci di tengah hari bulan Ramadhan, maka diperbolehkan untuk makan dan minum. Namun, untuk menghormati orang lain yang sedang berpuasa hendaknya ia tidak makan dan minum secara terang-terangan di antara orang yang berpuasa.
Terkadang, seorang wanita dapat mengeluarkan darah, namun bukan darah yang menjadi kebiasaan wanita tersebut. Keadaan tersebut dinamakan dengan darah istihadhoh. Pada keadaan ini, wanita tersebut tidak memiliki alasan untuk tidak berpuasa sebagaimana wanita haid. Artinya, ia tetap harus melaksanakan sholat dan puasa. Hukum istihadhoh seperti halnya keadaan wanita dalam keadaan suci kecuali pada beberapa masalah saja. (Akan datang pembahasannya, insya Allaah).
2. Wanita Hamil dan Menyusui
Bagi wanita yang hamil, jika khawatir akan membahayakan dirinya atau bayinya, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita yang sedang menyusui, apalagi jika tidak dapat mencari pengganti wanita lain yang dapat menyusui bayinya. Maka, wanita yang mengalami dua keadaan tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat, adalah wajib baginya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan, tanpa perlu meng-qadha’ puasanya, sebagaimana fidyah bagi orang yang telah renta (Al Wajiz, hal. 199)
Fidyah yang harus diberikan berupa makanan pokok negeri tersebut, misalnya beras atau roti, sebanyak 0,5 sha’ (500 gram) makanan untuk selain burr jayyid (tepung yang sangat halus). Adapun burr jayyid, ditentukan sebesar 0,25 sha’ (510 gram). Bisa juga diberikan bersama lauk pauknya. Fidyah tersebut bisa diberikan dengan cara mengumpulkan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan atau memberikannya secara terpisah (sendiri-sendiri), yaitu setiap satu orang miskin hanya berhak mendapat jatah satu kali fidyah. (Fushul fi Ash Shiyam, hal. 9). Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, fidyah tidak bisa digantikan dengan dengan uang senilai 0,5 sha’ makanan pokok, sebagaimana yang lazim dipahami oleh sebagian orang, karena lafadz dalil adalah “memberi makanan”, bukan “memberi uang”.
Yang perlu menjadi perhatian dari seluruh penjelasan di atas bahwa jika seseorang yang masih memiliki hutang puasa namun ia belum meng-qadha’ puasa pada Ramadhan yang lalu hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia harus meng-qadha’ puasanya tersebut dan membayar fidyah sebanyak hari yang ia tinggalkan. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh beberapa shahabat seperti Abu Hurairah dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu’anhuma.
Selain itu, seorang wanita tidak diperbolehkan untuk berpuasa sunnah kecuali dengan seijin suaminya. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang wanita berpuasa sedang suaminya berada di rumahnya kecuali dengan seizinnya.” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim). Pada riwayat lain: “kecuali Ramadhan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud). Allahu a’lam bi showwab.
Rujukan (maraji’):
Puasa Ramadhan merupakan amalan yang Allah Ta’ala wajibkan bagi kaum muslimin dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)
Lebih khusus lagi, puasa Ramadhan diwajibkan kepada muslim yang baligh, berakal, dan mukim (tidak sedang bersafar) sebagaimana sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Pena (pencatatan amal) diangkat dari tiga jenis manusia (yakni) orang yang gila hingga sadar kembali, orang yang tidur hingga bangun kembali, dan anak-anak hingga dia dewasa” (Shohih, riwayat Ahmad dan Nasa’i) dan dalam firman Allah Ta’ala,
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184)
Bagi seorang wanita yang akan berpuasa, ditambahkan syarat suci dari haid dan nifas, yang disimpulkan dari perkataan Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam saat beliau shallallaahu’alaihi wa sallam menjelaskan mengenai kurangnya agama seorang wanita: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa?” (Shohih, Riwayat Bukhori)
Seorang wanita memiliki alasan-alasan khusus yang membolehkannya untuk tidak berpuasa wajib, antara lain:
1. Haid
Seorang wanita yang haid dan nifas dilarang untuk melakukan puasa berdalil dengan hadits Abu Sa’id al Khudriy -radhiyallaahu’anhu-, bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” (Shohih, Riwayat Bukhori)
Di balik segala sesuatu pasti ada hikmahnya, meskipun kita tidak mampu membuka tabir hikmah tersebut. Lalu, apa hikmah dilarangnya seorang wanita yang mengalami haid untuk tidak berpuasa? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya: “Haid menyebabkan keluarnya darah. Wanita yang sudah mendapat haid dapat berpuasa di selain saat-saat merahnya yaitu dalam kondisi tidak keluar darah (tidak haid). Karena puasa pada waktu itu adalah puasa dalam kondisi fisik yang seimbang dimana darah, yang merupakan inti kekuatan tubuh, tidak keluar. Puasanya di saat haid akan menguras darah sehingga berdampak pada menurun dan melemahnya tubuhnya dan puasanya pun tidak pada kondisi fisik yang seimbang. Oleh karena itu, wanita diperintahkan untuk berpuasa di luar waktu-waktu haidnya.”
Wanita haid tersebut wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan, berdasarkan hadits dari ‘Aisyah -radhiyallaahu’anha- : “Kami mengalami haid di masa Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ sholat.” (Shohih, dalam Shohih Jami’ no. 3514)
Qadha’ boleh ditunda karena adanya udzur (alasan). Akan tetapi, hendaknya tidak menunda qadha’ tanpa udzur hingga masuk bulan Sya’ban atau justru beberapa hari sebelum Ramadhan tiba karena hal tersebut justru akan memberatkan fisik kita dalam persiapan bulan Ramadhan. Apalagi lingkungan kita yang umumnya penuh godaan, seperti banyaknya warung makan yang buka.
Sebagaimana keadaan orang yang junub, seorang wanita yang suci dari haid sebelum fajar namun baru mandi setelah terbit fajar maka sah puasanya. Sah juga jika wanita tersebut mendapatkan haid setelah tenggelamnya matahari meskipun ia belum sempat untuk berbuka puasa.
Jika seorang wanita suci di tengah hari bulan Ramadhan, maka diperbolehkan untuk makan dan minum. Namun, untuk menghormati orang lain yang sedang berpuasa hendaknya ia tidak makan dan minum secara terang-terangan di antara orang yang berpuasa.
Terkadang, seorang wanita dapat mengeluarkan darah, namun bukan darah yang menjadi kebiasaan wanita tersebut. Keadaan tersebut dinamakan dengan darah istihadhoh. Pada keadaan ini, wanita tersebut tidak memiliki alasan untuk tidak berpuasa sebagaimana wanita haid. Artinya, ia tetap harus melaksanakan sholat dan puasa. Hukum istihadhoh seperti halnya keadaan wanita dalam keadaan suci kecuali pada beberapa masalah saja. (Akan datang pembahasannya, insya Allaah).
2. Wanita Hamil dan Menyusui
Bagi wanita yang hamil, jika khawatir akan membahayakan dirinya atau bayinya, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita yang sedang menyusui, apalagi jika tidak dapat mencari pengganti wanita lain yang dapat menyusui bayinya. Maka, wanita yang mengalami dua keadaan tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat, adalah wajib baginya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan, tanpa perlu meng-qadha’ puasanya, sebagaimana fidyah bagi orang yang telah renta (Al Wajiz, hal. 199)
Fidyah yang harus diberikan berupa makanan pokok negeri tersebut, misalnya beras atau roti, sebanyak 0,5 sha’ (500 gram) makanan untuk selain burr jayyid (tepung yang sangat halus). Adapun burr jayyid, ditentukan sebesar 0,25 sha’ (510 gram). Bisa juga diberikan bersama lauk pauknya. Fidyah tersebut bisa diberikan dengan cara mengumpulkan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan atau memberikannya secara terpisah (sendiri-sendiri), yaitu setiap satu orang miskin hanya berhak mendapat jatah satu kali fidyah. (Fushul fi Ash Shiyam, hal. 9). Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, fidyah tidak bisa digantikan dengan dengan uang senilai 0,5 sha’ makanan pokok, sebagaimana yang lazim dipahami oleh sebagian orang, karena lafadz dalil adalah “memberi makanan”, bukan “memberi uang”.
Yang perlu menjadi perhatian dari seluruh penjelasan di atas bahwa jika seseorang yang masih memiliki hutang puasa namun ia belum meng-qadha’ puasa pada Ramadhan yang lalu hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia harus meng-qadha’ puasanya tersebut dan membayar fidyah sebanyak hari yang ia tinggalkan. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh beberapa shahabat seperti Abu Hurairah dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu’anhuma.
Selain itu, seorang wanita tidak diperbolehkan untuk berpuasa sunnah kecuali dengan seijin suaminya. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang wanita berpuasa sedang suaminya berada di rumahnya kecuali dengan seizinnya.” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim). Pada riwayat lain: “kecuali Ramadhan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud). Allahu a’lam bi showwab.
Rujukan (maraji’):
- Al Wajiz fi Fiqhi as Sunnah wal Kitaabi al’Aziis, Dr. ‘Abdul ‘Adhim Badawi
- Fushul fi ash Shiyam wa at Tarawihwa az Zakat, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin
- Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir al Jazairy
- Tanbihat ‘ala Ahkami Takhtashu bil Mu’minaat (Terj. Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita Beriman), Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan
- ‘Umdatul Ahkam, rekaman dauroh, Ustadz Abu Ukasyah
Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai Ketaatan Selama Bulan Ramadhan
Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai Ketaatan Selama Bulan Ramadhan
Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya: “Hal-hal apa sajakah yang dapat mendukung wanita untuk mencapai ketaatan kepada Allah selama bulan Ramadhan?”
Asy-Syaikh menjawab: “Hal-hal yang mendukung seorang Muslim, baik pria maupun wanita untuk melakukan ketaatan kepada Allah di bulan Ramadhan adalah:
* Takut kepada Allah yang disertai keyakinan bahwa Allah ta’ala senantiasa mengawasi hamba-Nya dalam seluruh perbuatannya, ucapannya dan niatnya, dan bahwa semua perbuatan itu akan mendapat balasan. Jika seorang muslim telah memiliki perasaan ini maka ia akan menyibukkan dirinya dengan segala macam ketaatan kepada Allah dan bersegera untuk bertaubat dari segala macam maksiat.
* Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an, karena dengan demikian hatinya akan menjadi lunak, sebagaimana firman Allah ta’ala,
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Qs. Ar-Ra’d: 28)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka.” (Qs. Al-Anfaal: 2)
* Menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hati menjadi keras dan menjauhkan dirinya dari Allah ta’ala, yaitu seluruh perbuatan maksiat, bergaul dengan teman-teman yang kurang baik, memakan makanan yang haram, lalai dalam mengingat Allah ta’ala dan banyak menyaksikan acara-acara yang merusak.
* Hendaknya para wanita tetap tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk suatu keperluan yang mendesak dan segera kembali ke rumahnya apabila keperluannya tersebut telah terpenuhi.
* Tidur pada malam hari dan menghindari begadang, karena yang demikian itu akan membantunya untuk bangun dan beribadah pada penghujung malam. Hendaknya mengurangi waktu tidur di siang hari sehingga dapat melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya serta dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk ketaatan.
* Menjaga lidahnya dari ghibah (menggunjing atau membicarakan aib orang lain), mengadu domba (menebarkan provokasi), qauluz zuur (berkata dusta) dan mengumbar perkataan haram dan tidak bermanfaat lainnya, sebagai penggantinya hendaklah dia menyibukkan dirinya dengan berdzikir.” [Lihat Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/278-279)]
Itulah beberapa masalah yang kerap ditemui oleh kaum wanita selama bulan Ramadhan. Semoga solusi yang disajikan dapat menambah khazanah keilmuan kita dan dapat memberi manfaat kepada yang membutuhkan.
Wallahu a’lam wal musta’an.
Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya: “Hal-hal apa sajakah yang dapat mendukung wanita untuk mencapai ketaatan kepada Allah selama bulan Ramadhan?”
Asy-Syaikh menjawab: “Hal-hal yang mendukung seorang Muslim, baik pria maupun wanita untuk melakukan ketaatan kepada Allah di bulan Ramadhan adalah:
* Takut kepada Allah yang disertai keyakinan bahwa Allah ta’ala senantiasa mengawasi hamba-Nya dalam seluruh perbuatannya, ucapannya dan niatnya, dan bahwa semua perbuatan itu akan mendapat balasan. Jika seorang muslim telah memiliki perasaan ini maka ia akan menyibukkan dirinya dengan segala macam ketaatan kepada Allah dan bersegera untuk bertaubat dari segala macam maksiat.
* Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an, karena dengan demikian hatinya akan menjadi lunak, sebagaimana firman Allah ta’ala,
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Qs. Ar-Ra’d: 28)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka.” (Qs. Al-Anfaal: 2)
* Menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hati menjadi keras dan menjauhkan dirinya dari Allah ta’ala, yaitu seluruh perbuatan maksiat, bergaul dengan teman-teman yang kurang baik, memakan makanan yang haram, lalai dalam mengingat Allah ta’ala dan banyak menyaksikan acara-acara yang merusak.
* Hendaknya para wanita tetap tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk suatu keperluan yang mendesak dan segera kembali ke rumahnya apabila keperluannya tersebut telah terpenuhi.
* Tidur pada malam hari dan menghindari begadang, karena yang demikian itu akan membantunya untuk bangun dan beribadah pada penghujung malam. Hendaknya mengurangi waktu tidur di siang hari sehingga dapat melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya serta dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk ketaatan.
* Menjaga lidahnya dari ghibah (menggunjing atau membicarakan aib orang lain), mengadu domba (menebarkan provokasi), qauluz zuur (berkata dusta) dan mengumbar perkataan haram dan tidak bermanfaat lainnya, sebagai penggantinya hendaklah dia menyibukkan dirinya dengan berdzikir.” [Lihat Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/278-279)]
Itulah beberapa masalah yang kerap ditemui oleh kaum wanita selama bulan Ramadhan. Semoga solusi yang disajikan dapat menambah khazanah keilmuan kita dan dapat memberi manfaat kepada yang membutuhkan.
Wallahu a’lam wal musta’an.
Ilmu Bukan Sekedar Teori
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”
Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)
Jangan tertipu dengan amalmu!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)
Jadilah contoh yang baik!
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kami pun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).
Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?
Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).
Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….
Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)
Jangan tertipu dengan amalmu!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)
Jadilah contoh yang baik!
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kami pun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).
Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?
Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).
Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….
Opick - Alhamdulillah
Bersujud kepada Allah
Bersyukur sepanjang waktu
Setiap nafasmu, seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah
Bersabar taat pada Allah
Menjaga keikhlasannya
Semoga dirimu, semoga langkahmu
Diiringi oleh rahmatNya
Setiap nafasmu, seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah
Alhamdulillah wasyukurilah
Besyukur padamu ya Allah
Kau jadikan kami saudara
Indah dalam kebersamaan
Bersujud kepada Allah
Bersyukur sepanjang waktu
Setiap nafasmu, seluruh hidupmu
Semoga diberkahi Allah
Semoga dirimu semoga langkahmu
Diriringi oleh rahmatnya
Alhamdulillah wasyukurilah
Besyukur padamu ya Allah
Kau jadikan kami saudara
Indah dalam kebersamaan
Alhamdulillah wasyukurilah
Besyukur padamu ya Allah
Kau jadikan kami saudara
Hilanglah semua perbedaan
Alhamdulillah wasyukurilah
Bersyukur padamu ya Allah
Bersujud kepada Allah
Bersyukur sepanjang waktu
Selasa, 16 Agustus 2011
Problema
*Disaat hati mulai ternodai
Problema duniawi?
Gelisah terasa lumpuhkan jiwa
Bahagia pun sirna?
?Kan ?kah kau tetap terpaku
Dalam problema hidupmu
Hanya menambah keluh?
Reff:
Hendaklah kau bersimpu
Dihadapan Tuhanmu?
`tuk memohon petunjuk
Jalan kebenaran?
Setiap langkah dalam hidup ini
Penuh dengan uji?
Sempurnalah iman yang kau miliki
Andai mampu jalani?
Senantiasa ingatlah
Pada Allah yang kuasa
Mohon lindungan-Nya?
Reff:
Berusaha karena-Nya
Bertawakal pada-Nya
Niscaya ?kan kau capai
Kemenangan dari-Nya?
Chorus & back to *
Beberapa Objek Wisata di Kota Palembang
- Sungai Musi, sungai sepanjang sekitar 750km yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan seberang Ilir ini merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Sejak dahulu Sungai Musi telah menjadi urat nadi perekonomian di Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan. Di sepanjang tepian sungai ini banyak terdapat objek wisata seperti Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Pulau Kemaro, Pasar 16 Ilir, rumah Rakit, kilang minyak Pertamina, pabrik pupuk PUSRI, pantai Bagus Kuning, Jembatan Musi II, Masjid Al Munawar, dll.
- Jembatan Ampera, sebuah jembatan megah sepanjang 1.177 meter yang melintas di atas Sungai Musi yang menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini merupakan ikon Kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 dan dibangun dengan menggunakan harta rampasan Jepang serta tenaga ahli dari Jepang.
- Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, terletak di pusat Kota Palembang, masjid ini merupakan masjid terbesar di Sumatera Selatan dengan kapasitas 15.000 jemaah.
- Benteng Kuto Besak, terletak di tepian Sungai Musi dan berdekatan dengan Jembatan Ampera, Benteng ini merupakan salah satu bangunan peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam. Di bagian dalam benteng terdapat kantor kesehatan Kodam II Sriwijaya dan rumah sakit. Benteng ini merupakan satu-satunya benteng di Indonesia yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan / pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa.
- Gedung Kantor Walikota, terletak di pusat kota, pada awalnya bangunan ini berfungsi sebagai menara air karena berfungsi untuk mengalirkan air keseluruh kota sehingga juga dikenal juga sebagai Kantor Ledeng. Saat ini gedung ini berfungsi sebagai Kantor Walikota Palembang dan terdapat lampu sorot di puncak gedung yang mempercantik wajah kota di malam hari.
- Kambang Iwak Family Park, sebuah danau wisata yang terletak di tengah kota, dekat dengan tempat tinggal walikota Palembang. Di tepian danau ini terdapat banyak arena rekreasi keluarga dan ramai dikunjungi pada hari libur. Selain itu di tengah danau ini terdapat air mancur yang tampak cantik di waktu malam.
- Hutan Wisata Punti Kayu, sebuah hutan wisata kota yang terletak sekitar 7 km dari pusat kota dengan luas 50 ha dan sejak tahun 1998 ditetapkan sebagai hutan lindung. Didalam hutan ini terdapat area rekreasi keluarga dan menjadi tempat hunian sekelompok monyet lokal.
- Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, sebuah site peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terletak di tepian Sungai Musi. Terdapat sebuah prasasti batu peninggalan Kerajaan di area ini.
- Taman Purbakala Bukit Siguntang, terletak di perbukitan sebelah barat Kota Palembang. Di tempat ini terdapat banyak peninggalan dan makam-makam kuno Kerajaan Sriwijaya.
- Monumen Perjuangan Rakyat, terletak di tengah kota, berdekatan dengan Masjid Agung dan Jembatan Ampera. Sesuai dengan namanya di dalam bangunan ini terdapat benda-benda peninggalan sejarah pada masa penjajahan.
- Museum Balaputradewa, sebuah museum yang menyimpan banyak benda - benda peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
- Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, terletak di dekat Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak dan dulunya merupakan salah satu peninggalan Keraton Palembang Darussalam. Didalamnya terdapat banyak benda - benda bersejarah Kota Palembang.
- Museum Tekstil, terletak di Jl. Merdeka museum ini menyimpan benda - benda tekstil dari seluruh kawasan di Provinsi Sumatera Selatan.
- Kawah Tengkurep
- Masjid Cheng Ho Palembang
- Kampung Kapitan
- Kampung Arab
- Fantasy Island
- Bagus Kuning
- Pusat Kerajinan Songket
- Pulau Kemaro
- Kilang Minyak Pertamina
- Pabrik Pupuk Pusri
- Sungai Gerong
Mengapa Harus Menggunakan Jilbab.
Dalam tata cara berpakaian dalam agama Islam tidak hanya memasyarakatkan busana sebagai penutup tubuh saja tetapi juga kelengkapan dalam kesopanan,kesehatan,dan keselamatan hidup.Menjilbapi diri kita sebagai muslimah adalah wajib dan merupakan ibadah kita kepada Allah SWT.
Sebagai sarana ibadah,ada beberapa hukum dalam berpakaian bagi kaum muslimah yaitu :
1.Pakaian harus menutup seluruh aurat,yaitu seluruh tubuh kecuali muka serta telapak tangan.
2.Tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
3.Tidak tipis dan tembus pandang
4.Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
5.Tidak menarik perhatian.
6.Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7.Tidak menyerupai pakaian pemuka agama lain.
Kita hanyalah manusia biasa,ada kekuasaan yang Maha Besar yang menguasai diri kita.Dialah Allah SWT...yang menguasai segala helai rambut kita,hembusan nafas kita,dan setiap langkah kaki kita.Jadi...tidaklah salah bila Penguasa kita memberikan perintah yang baik bagi kita dan sama sekali tidak merugikan kita...
Apa saja yang kita dapati bila Berjilbab??
*Kita akan lebih dihormati sebagai seorang muslimah,maksudnya adalah orang-orang di sekitar kita akan lebih menghargai kita,dengan pakaian yang sopan dan tertutup oleh hijab tidak akan menimbulkan tindakan asusila dari orang lain...
*Dengan menggunakan jilbab identitas kita akan sangat jelas bahwa kita adalah seorang muslimah.. Otomatis seseorang akan memperlakukan kita sebagai seorang muslimah..
*Pastinya Berjilbab itu....Cantik!
Kecantikan bukanlah hanya karena olesan make up, tetapi kecantikan yang sejati adalah dari hati yang bersih dan fikiran yang positif dalam memandang dan menilai segala sesuatu..Tidak adanya buruk sangka,iri,dengki,dendam dan lain-lain yang hanya akan mengotori hati kita. "The power of positif thinking"maka disanalah kecantikan alami akan terpancar...
*Kita pastinya akan berusaha untuk terus istiqomah dan menjaga perilaku dan tindakan untuk selalu dapat berlaku positif dalam hidup
Jadi sebenarnya banyak keuntungan yang kita dapat dengan memakai jilbab.Jadi, lengkapi ibadah kita kepada Allah SWT dengan mematuhi segala perintah dan kewajibannya..InsyaAllah kita selalu diberikan hati yang ikhlas dan tulus dalam mengerjakan segala kebajikan
Palang Merah Remaja
Palang Merah Remaja atau PMR adalah wadah pembinaan dan pengembangan anggota remaja yang dilaksanakan oleh Palang Merah Indonesia. Terdapat di PMI Cabang seluruh Indonesia dengan anggota lebih dari 1 juta orang. Anggota PMR merupakan salah satu kekuatan PMI dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dibidang kesehatan dan siaga bencana, mempromosikan Prinsip-Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, serta mengembangkan kapasitas organisasi PMI.
Sejarah
Terbentuknya Palang Merah Remaja dilatar belakangi oleh terjadinya Perang Dunia I (1914 – 1918) pada waktu itu Austria sedang mengalami peperangan. Karena Palang Merah Austria kekurangan tenaga untuk memberikan bantuan, akhirnya mengerahkan anak-anak sekolah supaya turut membantu sesuai dengan kemampuannya. Mereka diberikan tugas – tugas ringan seperti mengumpulkan pakaian-pakaian bekas dan majalah-majalah serta Koran bekas. Anak-anak tersebut terhimpun dalam suatu badan yang disebut Palang Merah Pemuda (PMP) kemudian menjadi Palang Merah Remaja (PMR).Pada tahun 1919 di dalam sidang Liga Perhimpunan Palang Merah Internasional diputuskan bahwa gerakan Palang Merah Remaja menjadi satu bagian dari perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Kemudian usaha tersebut diikuti oleh negara-negara lain. Dan pada tahun 1960, dari 145 Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah sebagian besar sudah memiliki Palang Merah Remaja.
Di Indonesia pada Kongres PMI ke-IV tepatnya bulan Januari 1950 di Jakarta, PMI membentuk Palang Merah Remaja yang dipimpin oleh Ny. Siti Dasimah dan Paramita Abdurrahman. Pada tanggal 1 Maret 1950 berdirilah Palang Merah Remaja secara resmi di Indonesia.
Pendidikan dan pelatihan PMR
Palang Merah Remaja atau PMR adalah organisasi kepemudaan binaan dari Palang Merah Indonesia yang berpusat di sekolah-sekolah dan bertujuan memberitahukan pengetahuan dasar kepada siswa sekolah dalam bidang yang berhubungan dengan kesehatan umum dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan.Untuk mendirikan atau menjadi anggota palang merah remaja disekolah, harus diadakan Pendidikan dan Pelatihan Diklat untuk lebih mengenal apa itu sebenarnya PMR dan sejarahnya mengapa sampai ada di Indonesia, dan pada diklat ini para peserta juga mendapatkan sertifikat dari PMI. Dan baru dianggap resmi menjadi anggota palang merah apabila sudah mengikuti seluruh kegiatan yang diadakan oleh palang merah remaja disekolah.
PMI mengeluarkan kebijakan pembinaan PMR:
- Remaja merupakan prioritas pembinaan, baik dalam keanggotaan maupun kegiatan kepalangmerahan.
- Remaja berperan penting dalam pengembangan kegiatan kepalangmerahan.
- Remaja berperan penting dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan proses pengambilan keputusan untuk kegiatan PMI.
- Remaja adalah kader relawan.
- Remaja calon pemimpin PMI masa depan.
- Penguatan kualitas remaja dan pembentukan karakter.
- Anggota PMR sebagai contoh dalam berperilaku hidup sehat bagi teman sebaya.
- Anggota PMR dapat memberikan motivasi bagi teman sebaya untuk berperilaku hidup sehat.
- Anggota PMR sebagai pendidik remaja sebaya.
- Anggota PMR adalah calon relawan masa depan.
Tribakti PMR
- Meningkatkan keterampilan hidup sehat
- Berkarya dan berbakti kepada masyarakat
- Mempererat persahabatan nasional dan internasional.
Tingkatan PMR
Di Indonesia dikenal ada 3 tingkatan PMR sesuai dengan jenjang pendidikan atau usianya- PMR Mula adalah PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Dasar (10-12 tahun). Warna emblem Hijau
- PMR Madya adalah PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Menengah Pertama (12-15 tahun). Warna emblem Biru Langit
- PMR Wira adalah PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Menengah Atas (15-17 tahun). Warna emblem Kuning
Prinsip dasar kepalangmerahan
Kemanusiaan
Kesamaan
Kenetralan
Kemandirian
Kesukarelaan
Kesatuan
Kesatuan
Langganan:
Komentar (Atom)